Wali Songo








Sejarah Awal Agama Islam Masuk Ke Tanah Jawa – Jauh sebelum Islam masuk ke daerah tanah Jawa, mayoritas masyasarakat di tanah jawa menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Selain menganut kepercayaan tersebut masyarakat Jawa juga sudah dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Hindu dan Budha yang berasal dari India. Seiring dengan waktu berjalan tidak lama kemudian Islam mulai masuk ke Jawa melewati Gujarat dan Persi dan ada yang berpendapat langsung dibawa oleh orang Arab, terutama pedagang dari timur tengah.

Kedatangan Islam di Jawa dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan kubur bernama Fatimah binti Maimun serta makam Maulana Malik Ibrahim. Saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada enam yaitu: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik. Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Bagaimanakah proses Islam masuk ke tanah Jawa?, Bagaimana masyarakat Jawa sebelum Islam datang?, Bagaimana peran Wali Songo dan metode pendekatannya?, Dan bagaimana Islam di Jawa paska Wali Songo? Dengan tujuan untuk mengetahui keadaan masyarakat Jawa sebelum Islam datang, peran Wali Songo di tanah Jawa dan metode pendekatannya, serta keadaan Islam di Jawa paska Wali Songo.
Islam Masuk Ke Tanah Jawa
Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit.
1. Masyarakat Jawa Sebelum Islam Datang
a. Jawa Pra Hindu-Budha
Situasi kehidupan “religius” masyarakat di Tanah Jawa sebelum datangnya Islam sangatlah heterogen. Kepercayaan import maupun kepercayaan yang asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum Hindu dan Budha, masyarakat Jawa prasejarah telah memeluk keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme. Pandangan hidup orang Jawa adalah mengarah pada pembentukan kesatuan numinous antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat.
Di samping itu, mereka meyakini kekuatan magis keris, tombak, dan senjata lainnya. Benda-benda yang dianggap keramat dan memiliki kekuatan magis ini selanjutnya dipuja, dihormati, dan mendapat perlakuan istimewa.
b. Jawa Masa Hindu-Budha
Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem agama.
Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat).
Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah sangat bersifat teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa adalah salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan:
Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada jaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu.
Di pulau Jawa terdapat tiga buah kerajaan masa Hindu Budha, kerajaan-kerajaan itu adalah Taruma, Ho-Ling, dan Kanjuruhan. Di dalam perekonomian dan industri salah satu aktivitas masyarakat adalah bertani dan berdagang dalam proses integrasi bangsa. Dari aspek lain karya seni dan satra juga telah berkembang pesat antara lain seni musik, seni tari, wayang, lawak, dan tari topeng. Semua itu sebagian besar terdokumentasikan pada pahatan-pahatan relief dan candi-candi.
2. Peranan Wali Songo dan Metode Pendekatannya
Era Wali Songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Wali Songo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa peranan Wali Songo sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa.
Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat sultan. Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah sebagai berikut:
  Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Inilah wali yang pertama datang ke Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel (Raden Rahmat). Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.

  Sunan Drajad (Syarifudin). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Surabaya. Seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.

Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Sunan yang sangat bijaksana.

Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan lingkungan setempat.

Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di Jawa dan luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama dengan metode bermain.
Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.

Sunan Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.

Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.
Salah satu cara penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para Wali tersebut ialah dengan cara mendakwah. Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat (sebagai objek dakwah), dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.
 
 3. Islam Di Jawa Paska Wali Songo
Setelah para Wali menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa, kepercayaan animisme dan dinamisme serta budaya Hindu-Budha sedikit demi sedikit berubah atau termasuki oleh nilai-nilai Islam. Hal ini membuat masyarakat kagum atas nilai-nilai Islam yang begitu besar manfa’atnya dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuat mereka langsung bisa menerima ajaran Islam. Dari sini derajat orang-orang miskin mulai terangkat yang pada awalnya tertindas oleh para penguasa kerajaan. Islam sangat berkembang luas sampai ke pelosok desa setelah para Wali berhasil mendidik murid-muridnya. Salah satu generasi yang meneruskan perjuangan para Wali sampai Islam tersebar ke pelosok desa adalah Jaka Tingkir. Islam di Jawa yang paling menonjol setelah perjuangan para Wali songo adalah perpaduan adat Jawa dengan nilai-nilai Islam, salah satu diantaranya adalah tradisi Wayang Kulit.

Menyelisik Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia
Setidaknya, ada enam pendapat tentang masuknya Islam ke Indonesia.
Pertama, Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari Makkah pada abad ke-7 M, pada abad pertama Hijriah. Pendapat ini adalah pendapat Hamka, salah seorang tokoh yang pernah dimiliki Muhammadiyah dan mantan ketua MUI periode 1977-1981. Hamka yang sebenarnya bernama Haji Abdul Malik bin Abdil Karim mendasarkan pendapatnya ini pada fakta bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafi’i.
Menurutnya, mazhab Syafi’i berkembang sekaligus dianut oleh penduduk di sekitar Makkah. Selain itu, yang tidak boleh diabaikan adalah fakta menarik lainnya bahwa orang-orang Arab sudah berlayar mencapai Cina pada abad ke-7 M dalam rangka berdagang. Hamka percaya, dalam perjalanan inilah, mereka singgah di kepulauan Nusantara saat itu.
Kedua, Islam dibawa dan disebarkan di Indonesia oleh orang-orang Cina. Mereka bermazhab Hanafi. Pendapat ini disimpulkan oleh salah seorang pegawai Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda dulu. Sebelum Indonesia merdeka, orang-orang Belanda pernah menguasai hampir seluas Indonesia sekarang sebelum ditaklukkan oleh tentara Jepang pada 1942. Tepatnya pada 1928, Poortman memulai penelitiannya terhadap naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda.
Tidak berhenti di situ, ia melanjutkan penelitiannya terhadap naskah-naskah kuno Cina yang tersimpan di klenteng-klenteng Cina di Cirebon dan Semarang. Ia pun sempat mencari naskah-naskah kuno di sebuah klenteng di Batavia, Jakarta dulu.
Hasil penelitiannya itu disimpan dengan keterangan Uitsluiten voor Dienstgebruik ten Kantore, yang berarti “Sangat Rahasia Hanya Boleh Digunakan di Kantor”. Sekarang disimpan di Gedung Arsip Negara Belanda di Den Haap, Belanda. Pada 1962, terbit buku Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao yang ditulis Mangaradja Onggang Parlindungan. Dalam buku ini dilampirkan juga naskah-naskah kuno Cina yang pernah diteliti oleh Poortman. Ketiga, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-12 M. Islam dibawa dan disebarkan oleh pedagang-pedagang Gujarat yang singgah di kepulauan Nusantara. Mereka menempuh jalur perdagangan yang sudah terbentuk antara India dan Nusantara. Pendapat ketiga ini adalah pemdapat Snouck Hurgronje, seorang penasehat di bidang bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam untuk pemerintah kolonial Belanda. Ia mengambil pendapat ini dari Pijnapel, seorang pakar dari Universitas Leiden, Belanda, yang sering meneliti artefak-artefak peninggalan Islam di Indonesia. Pendapat Pijnapel ini juga dibenarkan oleh J.P. Moquette yang pernah meneliti bentuk nisan kuburan-kuburan raja-raja Pasai, kuburan Sultan Malik Ash-Shalih. Nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, juga ditelitinya. Dan ternyata sangat mirip dengan bentuk nisan-nisan kuburan yang ada di Cambay, Gujarat. Rupanya, pendapat Moquette yang memperkuat pendapat Pijnapel dan Hurgronje disanggah oleh S.Q. Fatimi. Pendapat Fatimi adalah nisan-nisan kuburan yang ada di Aceh dan Gresik justru lebih mirip dengan bentuk nisan-nisan kuburan yang ada di Benggala, sekitar Bangladesh sekarang.

Lebih jauh lagi, Fatimi percaya, pengaruh-pengaruh Islam di Benggala itu banyak ditemui dalam Islam yang berkembang di Nusantara dulu. Oleh karena itu, Islam yang ada di Indonesia ini sebenarnya berasal dari Bangladesh. Pendapat ini adalah pendapat keempat.
Pendapat Moquette juga disanggah oleh G.E. Marrison. Marrison malah yakin, bahwa Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Alasannya, pada abad ke-13 M, Gujarat masih menjadi sebuah kerajaan Himdu, sedang di Pantai Coromandel Islam telah berkembang. Marrison juga berpendapat, para pembawa dan penyebar Islam yang pertama ke Indonesia adalah para Sufi India. Mereka menyebarkan Islam di Indonesia dengan pendekatan tasawwuf pada akhir abad ke-13 M. Waktu itu, masih terhitung belum lama dari peristiwa penyerbuan Baghdad oleh orang-orang Mongol. Penyerbuan yang dimaksud memaksa banyak Sufi keluar dari zawiyah-zawiyah mereka dan melakukan pengembaraan ke luar wilayah Bani Abbasiyah, seperti ke ujung Persia atau bahkan ke India.
Sebelum Marrison mengemukakan pendapatnya, T.W. Arnold telah meyakini bahwa Islam di Indonesia juga dibawa atau berasal dari Pantai Coromandel dan Malabar, India. Karena itu, banyak yang beranggapan bahwa Marrison memperkuat pendapat Arnold itu.
Setelah kelima pendapat itu, Hoesein Djajaningrat mengemukakan pendapat keenam tentang masuknya Islam di Indonesia. Djajaningrat dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya itu berjudulCritische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis mengenai Sejarah Banten).
Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Djajaningrat beralasan, peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai hari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib yang ada di Indonesia berasal dari perayaan kaum Syiah di Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih dikenal sebagai perayaan Hari Karbala. Djajaningrat juga yakin dengan pendapat ini, karena keberadaan pengaruh bahasa Persia di beberapa tempat di Indonesia. Selain itu, keberadaan Syeikh Siti Jenar dan Hamzah Fansuri dalam sejarah Indonesia menandakan adanya pengaruh ajaran wihdatul wujud Al-Hallaj, seorang Sufi ekstrim yang berasal dari Persia. Dapat terlihat bahwa perbedaan pendapat itu terjadi karena dasar-dasar berpikir yang dipakai dalam membangun pendapat. Pijnapel, Hurgronje, Marrison, Moquette, Fatimi lebih mempercayai bukti-bukti kongret yang masih bisa diyakini secara pasti, bukan perkiraan. Karena itu, pendapat-pendapat mereka lebih logis, meskipun bisa menuntut mereka untuk percaya bahwa Islam pertama kali berkembang di Indonesia pada sekitar abad ke-13 M, lebih belakangan ketimbang agama Hindu dan Buddha. Berbeda dari pendapat Residen Poortman. Meski berdasarkan catatan-catatan Cina yang tersimpan bertahun-tahun, masih ada kemungkinan salah tafsir atas pernyataan-pernyataan tertulis yang ada di di dalamnya. Dan juga: masih besar kemungkinan adanya manipulasi data tanpa sepengetahuan para pembaca.
Pendapat Hamka bahkan lebih mudah lagi untuk terjerumus ke dalam bentuk syak yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya. Pendapatnya berdasarkan perkiraan-perkiraan pribadi. Pendapatnya tidak ditunjang oleh data sejarah yang kongkret. Sangat kecil kemungkinan pendapatnya untuk benar. Demikian pula, kiranya, dengan pendapat Djajaningrat. Bisa jadi persamaan-persamaan yang dikemukakan dalam pendapatnya itu hanya kebetulan-kebetulan yang mirip pada objek. Akan tetapi, hampir setiap pendapat itu memiliki konsekuensi. Jika seseorang memercayainya suatu pendapat dari pendapat-pendapat itu, maka, bagaimana pun, ia mesti menerima konsekuensi-konsekuensi yang ada. Seperti jika percaya pendapat bahwa Islam dibawa masuk dari Persia, sedikit banyaknya, akan membuat kita berpikir, para penyebar Islam pertama kali di Nusantara adalah orang-orang Syiah. Dan karena itu, Syiah adalah bentuk akidah pertama yang diterima di Indonesia. Baru setelah itu Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berkembang.
Apabila kita memercayai Islam yang masuk di Indonesia berasal dari Jazirah Arab pada abad ke-7 M, berarti orang-orang di Nusantara telah mengenal dakwah Islam sejak masa para sahabat masih hidup. Artinya, ketika para tabi’in ramai-ramai menuntut ilmu agama pada para sahabat Nabi, segelintir orang di Nusantara juga telah mengenal Islam yang sama pada waktu itu. Hanya jarak yang memisahkan mereka. Demikian pula, jika kita menerima pendapat bahwa Islam berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Jika pendapat ini yang kita terima, maka bisa dipastikan para pemeluk pemula Islam di Indonesia adalah orang-orang yang berakidah dengan akidah Sufi atau setidaknya mengenal Islam lewat kacamata tasawwuf.


Bangsa Arab Hadramaut  telah lama mencapai pesisir barat laut pantai  Sumatra, yang diperkirakan oleh sejarawan Islam terjadi kisaran abad ke-7 Masehi. Mereka kemudian berbaur dengan penduduk setempat selama dua atau tiga abad sebelum agama Islam lahir, sehingga pengaruh mereka berkesan di tengah masyarakat. Dengan masuknya Islam ke pesisir pantai kepulauan ini, pengaruh ini semakin kuat, terutama dalam bidang kebudayaan. Agama baru diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, dari rakyat jelata hingga para raja.

Agama Islam yang menjamur di Nusantara seperti kini bukanlah tanpa sebab dan perjuangan yang berarti. Islam adalah agama yang menghargai persamaan kedudukan, hak dan kewajiban manusia. Sehingga dalam penyebarannya, tanpa paksaan dan kekerasan, Islam dapat mudah berkembang di Nusantara.  Dengan demikian, semua lapisan masyarakat dapat saling hidup rukun, bersaudara, bergotong royong, saling menghargai, saling mengasihi, bersikap adil sehingga toleransi Islam merupakan ciri utama bangsa ini yang dikenal dunia sampai sekarang ini.

Eksistensi Walisongo sebagai bagian dari para pelopor kalimatullah di bumi Jawa tidak diragukan lagi keberadaannya. Meski dalam analisis sejarawan Islam belum bisa mengkuak secara pasti kapan Islam kali pertama disebarkan khazanahnya di Nusantara, namun jejak peninggalan yang ditemukan di ranah Jawa secara Historis sudah cukup membuktikan mulai surutnya dominasi Hindu-Budha di tengah kepercayaan dan kultural di masyarakat. Walaupun dalam realita penyebaran Islam di Nusantara bukan merupakan dari pangku tangan tunggal dari Walisongo semata, namun demikian kata Walisongo hanya merupakan simbolis generalisme dari para penyebar Islam lain oleh masyarakat awam, karena dedikasinya juga yang besar terhadap perkembangan kerajaan Islam di Nusantara.

Walisongo yang kesemuanya berjumlah sembilan Mubaligh (da’i), delapan diantaranya masih dalam satu garis keturunan dengan Nabi Muhammad SAW., dan hanya satu diantara mereka yang merupakan keturunan Jawa asli, yakni Sunan Kalijaga (Raden Sa’id). Di sisi lain, kajian historis telah menyatakan bahwa Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) merupakan Grand Father, itu disebabkan karana ia di anggap sebagai wali pertama yang berdakwah di Jawa dan sebagai perintis pertama tempat mengaji agama yakni ‘Pondok’. Dalam perjalan dakwah para Walisongo, banyak usaha yang mereka tempuh dalam menyebarkan agama Islam sampai ke plosok penjuru pulau Jawa, mulai dari hidup sebagai sufi dalam berbaur dengan masyarakat, membuat pendekatan dengan budaya mereka, hingga secara diplomatis.

Jalur Politik Dan Kekuasaan

Secara politis, penyebaran Islam juga dilakukan oleh para raja dan penguasa pada saat itu. Dengan adanya raja-raja yang beragama Islam, ajaran Islam mulai tersebar ke penjuru  pelosok kerajaan dan berangsur-angsur mulai diikuti dan di terima oleh rakyat dan punggawa kerajaan. Diantara salah satu wali yang berdakwah di jalur ini adalah Sunan Ampel, yang merupakan keturunan ke-22 dari Rosulullah SAW. ia menikah dengan Nyai Ageng Manila yang merupakan putri dari Adipati Tuban (Arya Teja) sehingga Hubungan diplomatis terjalin dan rakyat perlahan mulai tertarik dengan nuansa agama yang dibawa oleh menantu dari sang Adipati.

Jalur Pendidikan
            Penyebaran Islam di Indonesia juga tak lepas dari sumbangsih dalam bidang pendidikan, baik melalui majlis ta’lim maupun pesantren yang diselenggarakan oleh guru-guru agama dan ulama’-ulama’. Di pesantren para santri yang merupakan bakal calon ulama’, guru agama dan kyai mendapat mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, diharapkan mereka pulang ke kampung masing-masing atau bisa berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Paden Rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Lulusan pesantren Giri ini juga banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan Islam.

Jalur Kebudayaan
            Kebudayaan Merupakan jalur penyebaran Islam yang sangat efektif. Jalur ini dicontohkan oleh salah satu Walisongo dengan menggelar pertunjukan kesenian dan kebudayaan. Sebagaimana yang dilakukan Sunan Kalijaga, seorang wali yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dalam pertunjukan yang ia gelar tersebut dia tidak pernah meminta upah sereserpun dari hasil  pertunjukannya, tetapi ia hanya meminta mereka untuk mengikuti bacaan syahadatnya. Selain itu, ia juga menyelipkan ajaran ajaran islam dalam cerita wayang yang ia pentaskan itu. Di sisi lain, Sunan Kudus dalam pendekatannya dikalangan masyarakat Hindu, beliau  melarang para pengikutnya untuk menyembelih sapi (binatang yang di sucikan kaum Hindu) dan sengaja membuat ornamen masjid beliau layaknya serupa dengan tempat peribadahan mereka. Hingga akhirnya satu persatu mereka tertarik dan kemudian bersyahadat di depan Sunan Kudus dengan kerelaannya.

            Usaha Walisongo yang begitu gigih nan cerdik dalam bembaur dengan masyarakat untuk mengupayakan Islamnya Nusantara dan Jawa khususnya menuai hasil yang cemerlang. Kini realita tak dapat dibantah lagi bahwa mayoritas masyarakat sekarang telah bersyahadat atas jasa para mubaligh yang tak lepas dari Walisongo utamanya, dan KH. Hasyim Asyari, Hamzah Fansuri dan lainnya yang dulu merupakann motor utama dalam penggerak syiar Islam. Kini masyarakat yang menuai prosentase terbesar adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah dan itupun juga mayoritas bermadzhab Syafi’i.

            Suatu yang mustahil jika Walisongo dan para Mubaligh lain semasanya tidak menganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah, sementara realita masyarakat Islam di lapangan sekarang merupakan penganut setia Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya penduduk Jawa. Padahal, dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa sendiri merupakan bidikan utama oleh para Walisongo. Maka tak dapat dipungkiri jika Walisongo itu sendiri berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah, kecuali jika dalam sejarah Islam sendiri mencatat bahwa adaanya peralihan faham yang ada sebelum Ahlussunnah wal Jama’ah menjamur di kalangan umat Islam Jawa. Selanjutnya, Prof. KH. Abdullah bin Nuh juga menjelaskan “ Jika kita mempelajari Primbon, yakni kumpulan ilmu dan rahasia kehidupan yang di dalamnya terdapat materi ajaran Ibrahim (Sunan Bonang), maka di sana kita alkan mendapatkan banyak nama dan kitab yang menjadi referensi utama para dai sembilan, berupa pendapat dan keyakinan, sebagaimana juga memuat masalah akidah dan fikih dengan susunan yang bagus sesuai dengan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah dan Madzhab Imam Syafi’i. dari sini,menjadi jelas jika para da’i yang terkenal dalam sejarah masyarakat Jawa dengan gelar Walisongo itu termasuk tokoh utama dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah”.

 Di sisi lain, masjid-masjid besar yang dibangun oleh Walisongo juga turut menjadi bukti akan faham yang telah di anut mereka kala itu, misalnya Masjid AL Aqsho (Sunan Kudus), Masjid Sunan Ampel (Surabaya), Masjid Agung Demak (Sunan Kalijaga) dan lainnya. Pada realitnya, tak mungkin jika suatu Masjid yang berada pada lingkungan Walisongo tersebut, masyarakat dan orang Islam yang telah turun-temurun bermukim di sekitar Masjid tersebut melenceng dari faham yang dianutnya, padahal dalam praktek ibadah keseharian di Masjid tersebut memang merupakan amaliyah faham Ahlussunnah wal Jama’ah.

Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah yang yang dibawa oleh Walisongo tetap kukuh dan dipegang teguh Umat Islam di Nusantara. Dalam wadah organisasi sosial keagamaan NU (Nahdhotul Ulama’) lah Islam di Indonesia ini tetap bersatu dalam menjalin komunikasi untuk memperkukuh Ukhuwah Islamiyyah dan mensyi’arkan Islam ke penjuru plosok negeri, dan turut serta mengirimkan Da'i ke negara tetangga yang belum terjamah oleh kesejukan Agama Islam, untuk mewujudkan Indonesia sebagai mercusuar dunia.

 







sumber : 
https://bintangbinfa.wordpress.com/2013/12/13/sejarah-awal-agama-islam-masuk-ke-tanah-jawa/

http://www.metazone.co.vu/2014/08/walisongo-penerus-dakwah-nabi.html

Komentar

Postingan Populer