Wali Songo
Sejarah Awal Agama Islam Masuk Ke Tanah Jawa – Jauh
sebelum Islam masuk ke daerah tanah Jawa, mayoritas masyasarakat di tanah jawa
menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Selain menganut kepercayaan
tersebut masyarakat Jawa juga sudah dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Hindu
dan Budha yang berasal dari India. Seiring dengan waktu berjalan tidak lama
kemudian Islam mulai masuk ke Jawa melewati Gujarat dan Persi dan ada yang
berpendapat langsung dibawa oleh orang Arab, terutama pedagang dari timur tengah.
Kedatangan Islam di Jawa dibuktikan
dengan ditemukannya batu nisan kubur bernama Fatimah binti Maimun serta makam
Maulana Malik Ibrahim. Saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada enam
yaitu: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Bagaimanakah proses
Islam masuk ke tanah Jawa?, Bagaimana masyarakat Jawa sebelum Islam datang?,
Bagaimana peran Wali Songo dan metode pendekatannya?, Dan bagaimana Islam di
Jawa paska Wali Songo? Dengan tujuan untuk mengetahui keadaan masyarakat Jawa
sebelum Islam datang, peran Wali Songo di tanah Jawa dan metode pendekatannya,
serta keadaan Islam di Jawa paska Wali Songo.
Islam Masuk Ke Tanah
Jawa
Di Jawa, Islam masuk
melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah
binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi
di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan
Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping
itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu
tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke
pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua
berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana
Majapahit.
1. Masyarakat Jawa Sebelum Islam Datang
a. Jawa Pra
Hindu-Budha
Situasi
kehidupan “religius” masyarakat di Tanah Jawa sebelum datangnya Islam sangatlah
heterogen. Kepercayaan import maupun kepercayaan yang asli telah dianut oleh
orang Jawa. Sebelum Hindu dan Budha, masyarakat Jawa prasejarah telah memeluk
keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme. Pandangan hidup orang Jawa
adalah mengarah pada pembentukan kesatuan numinous antara alam nyata,
masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat.
Di samping
itu, mereka meyakini kekuatan magis keris, tombak, dan senjata lainnya.
Benda-benda yang dianggap keramat dan memiliki kekuatan magis ini selanjutnya dipuja,
dihormati, dan mendapat perlakuan istimewa.
b. Jawa Masa
Hindu-Budha
Pengaruh Hindu-Budha
dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima
pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses
akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh
terhadap sistem agama.
Sejak awal, budaya
Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima
agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar
jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat).
Ciri lain dari
budaya Jawa pada saat itu adalah sangat bersifat teokratis. Pengkultusan
terhadap raja-raja sebagai titisan dewa adalah salah satu buktinya. Dalam hal ini
Onghokham menyatakan:
Dalam kerajaan
tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada jaman Hindu-Budha
diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa
rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia
akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan.
Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton
adalah puncak peradaban pada masa itu.
Di pulau Jawa
terdapat tiga buah kerajaan masa Hindu Budha, kerajaan-kerajaan itu adalah
Taruma, Ho-Ling, dan Kanjuruhan. Di dalam perekonomian dan industri salah satu
aktivitas masyarakat adalah bertani dan berdagang dalam proses integrasi
bangsa. Dari aspek lain karya seni dan satra juga telah berkembang pesat antara
lain seni musik, seni tari, wayang, lawak, dan tari topeng. Semua itu sebagian
besar terdokumentasikan pada pahatan-pahatan relief dan candi-candi.
2. Peranan Wali Songo
dan Metode Pendekatannya
Era Wali Songo
adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Wali Songo adalah simbol penyebaran Islam
di Indonesia, khususnya di Jawa peranan Wali Songo sangat besar dalam
mendirikan kerajaan Islam di Jawa.
Di Pulau Jawa,
penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang
sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para
wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan
pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat
sultan. Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan
atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah sebagai
berikut:
Sunan Gresik (Maulana
Malik Ibrahim). Inilah wali yang pertama datang ke Jawa pada abad ke-13 dan
menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel (Raden Rahmat).
Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan perancang
pembangunan Masjid Demak.
Sunan Drajad (Syarifudin). Anak
dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Surabaya. Seorang sunan yang
sangat berjiwa sosial.
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim).
Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Sunan
yang sangat bijaksana.
Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka
Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin,
pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan
lingkungan setempat.
Sunan Giri (Raden Paku).
Menyiarkan Islam di Jawa dan luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara,
dan Maluku. Menyiarkan agama dengan metode bermain.
Sunan Kudus (Jafar Sodiq).
Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya
ialah Masjid dan Menara Kudus.
Sunan Muria (Raden Umar Said).
Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa
Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).
Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa
besar.
Salah satu
cara penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para Wali tersebut ialah dengan
cara mendakwah. Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para
ulama mendatangi masyarakat (sebagai objek dakwah), dengan menggunakan
pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan
jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping
itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana
pendidikan Islam.
3. Islam Di Jawa Paska Wali Songo
Setelah para
Wali menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa, kepercayaan animisme dan dinamisme
serta budaya Hindu-Budha sedikit demi sedikit berubah atau termasuki oleh
nilai-nilai Islam. Hal ini membuat masyarakat kagum atas nilai-nilai Islam yang
begitu besar manfa’atnya dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuat mereka
langsung bisa menerima ajaran Islam. Dari sini derajat orang-orang miskin mulai
terangkat yang pada awalnya tertindas oleh para penguasa kerajaan. Islam sangat
berkembang luas sampai ke pelosok desa setelah para Wali berhasil mendidik
murid-muridnya. Salah satu generasi yang meneruskan perjuangan para Wali sampai
Islam tersebar ke pelosok desa adalah Jaka Tingkir. Islam di Jawa yang paling
menonjol setelah perjuangan para Wali songo adalah perpaduan adat Jawa dengan
nilai-nilai Islam, salah satu diantaranya adalah tradisi Wayang Kulit.
Menyelisik Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia
Setidaknya, ada enam pendapat tentang masuknya Islam
ke Indonesia.
Pertama, Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari Makkah pada abad ke-7 M, pada abad pertama Hijriah. Pendapat ini adalah pendapat Hamka, salah seorang tokoh yang pernah dimiliki Muhammadiyah dan mantan ketua MUI periode 1977-1981. Hamka yang sebenarnya bernama Haji Abdul Malik bin Abdil Karim mendasarkan pendapatnya ini pada fakta bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafi’i.
Pertama, Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari Makkah pada abad ke-7 M, pada abad pertama Hijriah. Pendapat ini adalah pendapat Hamka, salah seorang tokoh yang pernah dimiliki Muhammadiyah dan mantan ketua MUI periode 1977-1981. Hamka yang sebenarnya bernama Haji Abdul Malik bin Abdil Karim mendasarkan pendapatnya ini pada fakta bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafi’i.
Menurutnya, mazhab
Syafi’i berkembang sekaligus dianut oleh penduduk di sekitar Makkah. Selain
itu, yang tidak boleh diabaikan adalah fakta menarik lainnya bahwa orang-orang
Arab sudah berlayar mencapai Cina pada abad ke-7 M dalam rangka berdagang.
Hamka percaya, dalam perjalanan inilah, mereka singgah di kepulauan Nusantara
saat itu.
Kedua, Islam dibawa dan disebarkan di Indonesia oleh orang-orang Cina. Mereka bermazhab Hanafi. Pendapat ini disimpulkan oleh salah seorang pegawai Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda dulu. Sebelum Indonesia merdeka, orang-orang Belanda pernah menguasai hampir seluas Indonesia sekarang sebelum ditaklukkan oleh tentara Jepang pada 1942. Tepatnya pada 1928, Poortman memulai penelitiannya terhadap naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda.
Kedua, Islam dibawa dan disebarkan di Indonesia oleh orang-orang Cina. Mereka bermazhab Hanafi. Pendapat ini disimpulkan oleh salah seorang pegawai Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda dulu. Sebelum Indonesia merdeka, orang-orang Belanda pernah menguasai hampir seluas Indonesia sekarang sebelum ditaklukkan oleh tentara Jepang pada 1942. Tepatnya pada 1928, Poortman memulai penelitiannya terhadap naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda.
Tidak berhenti di
situ, ia melanjutkan penelitiannya terhadap naskah-naskah kuno Cina yang
tersimpan di klenteng-klenteng Cina di Cirebon dan Semarang. Ia pun sempat
mencari naskah-naskah kuno di sebuah klenteng di Batavia, Jakarta dulu.
Hasil penelitiannya
itu disimpan dengan keterangan Uitsluiten voor Dienstgebruik ten Kantore, yang
berarti “Sangat Rahasia Hanya Boleh Digunakan di Kantor”. Sekarang disimpan di
Gedung Arsip Negara Belanda di Den Haap, Belanda. Pada 1962, terbit buku
Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao yang ditulis Mangaradja Onggang
Parlindungan. Dalam buku ini dilampirkan juga naskah-naskah kuno Cina yang
pernah diteliti oleh Poortman. Ketiga, Islam yang masuk ke Indonesia berasal
dari Gujarat pada abad ke-12 M. Islam dibawa dan disebarkan oleh
pedagang-pedagang Gujarat yang singgah di kepulauan Nusantara. Mereka menempuh
jalur perdagangan yang sudah terbentuk antara India dan Nusantara. Pendapat
ketiga ini adalah pemdapat Snouck Hurgronje, seorang penasehat di bidang
bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam untuk pemerintah kolonial Belanda. Ia
mengambil pendapat ini dari Pijnapel, seorang pakar dari Universitas Leiden,
Belanda, yang sering meneliti artefak-artefak peninggalan Islam di Indonesia. Pendapat
Pijnapel ini juga dibenarkan oleh J.P. Moquette yang pernah meneliti bentuk
nisan kuburan-kuburan raja-raja Pasai, kuburan Sultan Malik Ash-Shalih. Nisan
kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, juga ditelitinya. Dan
ternyata sangat mirip dengan bentuk nisan-nisan kuburan yang ada di Cambay,
Gujarat. Rupanya, pendapat Moquette yang memperkuat pendapat Pijnapel dan
Hurgronje disanggah oleh S.Q. Fatimi. Pendapat Fatimi adalah nisan-nisan
kuburan yang ada di Aceh dan Gresik justru lebih mirip dengan bentuk
nisan-nisan kuburan yang ada di Benggala, sekitar Bangladesh sekarang.
Lebih jauh lagi,
Fatimi percaya, pengaruh-pengaruh Islam di Benggala itu banyak ditemui dalam
Islam yang berkembang di Nusantara dulu. Oleh karena itu, Islam yang ada di
Indonesia ini sebenarnya berasal dari Bangladesh. Pendapat ini adalah pendapat
keempat.
Pendapat Moquette juga disanggah oleh G.E. Marrison. Marrison malah yakin, bahwa Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Alasannya, pada abad ke-13 M, Gujarat masih menjadi sebuah kerajaan Himdu, sedang di Pantai Coromandel Islam telah berkembang. Marrison juga berpendapat, para pembawa dan penyebar Islam yang pertama ke Indonesia adalah para Sufi India. Mereka menyebarkan Islam di Indonesia dengan pendekatan tasawwuf pada akhir abad ke-13 M. Waktu itu, masih terhitung belum lama dari peristiwa penyerbuan Baghdad oleh orang-orang Mongol. Penyerbuan yang dimaksud memaksa banyak Sufi keluar dari zawiyah-zawiyah mereka dan melakukan pengembaraan ke luar wilayah Bani Abbasiyah, seperti ke ujung Persia atau bahkan ke India.
Sebelum Marrison mengemukakan pendapatnya, T.W. Arnold telah meyakini bahwa Islam di Indonesia juga dibawa atau berasal dari Pantai Coromandel dan Malabar, India. Karena itu, banyak yang beranggapan bahwa Marrison memperkuat pendapat Arnold itu.
Setelah kelima pendapat itu, Hoesein Djajaningrat mengemukakan pendapat keenam tentang masuknya Islam di Indonesia. Djajaningrat dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya itu berjudulCritische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis mengenai Sejarah Banten).
Pendapat Moquette juga disanggah oleh G.E. Marrison. Marrison malah yakin, bahwa Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Alasannya, pada abad ke-13 M, Gujarat masih menjadi sebuah kerajaan Himdu, sedang di Pantai Coromandel Islam telah berkembang. Marrison juga berpendapat, para pembawa dan penyebar Islam yang pertama ke Indonesia adalah para Sufi India. Mereka menyebarkan Islam di Indonesia dengan pendekatan tasawwuf pada akhir abad ke-13 M. Waktu itu, masih terhitung belum lama dari peristiwa penyerbuan Baghdad oleh orang-orang Mongol. Penyerbuan yang dimaksud memaksa banyak Sufi keluar dari zawiyah-zawiyah mereka dan melakukan pengembaraan ke luar wilayah Bani Abbasiyah, seperti ke ujung Persia atau bahkan ke India.
Sebelum Marrison mengemukakan pendapatnya, T.W. Arnold telah meyakini bahwa Islam di Indonesia juga dibawa atau berasal dari Pantai Coromandel dan Malabar, India. Karena itu, banyak yang beranggapan bahwa Marrison memperkuat pendapat Arnold itu.
Setelah kelima pendapat itu, Hoesein Djajaningrat mengemukakan pendapat keenam tentang masuknya Islam di Indonesia. Djajaningrat dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya itu berjudulCritische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis mengenai Sejarah Banten).
Menurutnya, Islam yang
masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Djajaningrat beralasan, peringatan 10
Muharram atau hari Asyura sebagai hari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib
yang ada di Indonesia berasal dari perayaan kaum Syiah di Persia. Peringatan 10
Muharram itu lebih dikenal sebagai perayaan Hari Karbala. Djajaningrat juga
yakin dengan pendapat ini, karena keberadaan pengaruh bahasa Persia di beberapa
tempat di Indonesia. Selain itu, keberadaan Syeikh Siti Jenar dan Hamzah
Fansuri dalam sejarah Indonesia menandakan adanya pengaruh ajaran wihdatul
wujud Al-Hallaj, seorang Sufi ekstrim yang berasal dari Persia. Dapat terlihat
bahwa perbedaan pendapat itu terjadi karena dasar-dasar berpikir yang dipakai
dalam membangun pendapat. Pijnapel, Hurgronje, Marrison, Moquette, Fatimi lebih
mempercayai bukti-bukti kongret yang masih bisa diyakini secara pasti, bukan
perkiraan. Karena itu, pendapat-pendapat mereka lebih logis, meskipun bisa
menuntut mereka untuk percaya bahwa Islam pertama kali berkembang di Indonesia
pada sekitar abad ke-13 M, lebih belakangan ketimbang agama Hindu dan Buddha. Berbeda
dari pendapat Residen Poortman. Meski berdasarkan catatan-catatan Cina yang
tersimpan bertahun-tahun, masih ada kemungkinan salah tafsir atas
pernyataan-pernyataan tertulis yang ada di di dalamnya. Dan juga: masih besar
kemungkinan adanya manipulasi data tanpa sepengetahuan para pembaca.
Pendapat Hamka bahkan
lebih mudah lagi untuk terjerumus ke dalam bentuk syak yang belum tentu bisa
dibuktikan kebenarannya. Pendapatnya berdasarkan perkiraan-perkiraan pribadi.
Pendapatnya tidak ditunjang oleh data sejarah yang kongkret. Sangat kecil
kemungkinan pendapatnya untuk benar. Demikian pula, kiranya, dengan pendapat
Djajaningrat. Bisa jadi persamaan-persamaan yang dikemukakan dalam pendapatnya
itu hanya kebetulan-kebetulan yang mirip pada objek. Akan tetapi, hampir setiap
pendapat itu memiliki konsekuensi. Jika seseorang memercayainya suatu pendapat
dari pendapat-pendapat itu, maka, bagaimana pun, ia mesti menerima
konsekuensi-konsekuensi yang ada. Seperti jika percaya pendapat bahwa Islam
dibawa masuk dari Persia, sedikit banyaknya, akan membuat kita berpikir, para
penyebar Islam pertama kali di Nusantara adalah orang-orang Syiah. Dan karena
itu, Syiah adalah bentuk akidah pertama yang diterima di Indonesia. Baru
setelah itu Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berkembang.
Apabila kita
memercayai Islam yang masuk di Indonesia berasal dari Jazirah Arab pada
abad ke-7 M, berarti orang-orang di Nusantara telah mengenal dakwah Islam sejak
masa para sahabat masih hidup. Artinya, ketika para tabi’in ramai-ramai
menuntut ilmu agama pada para sahabat Nabi, segelintir orang di Nusantara juga
telah mengenal Islam yang sama pada waktu itu. Hanya jarak yang memisahkan
mereka. Demikian pula, jika kita menerima pendapat bahwa Islam berasal dari
Pantai Coromandel, India Selatan. Jika pendapat ini yang kita terima, maka bisa
dipastikan para pemeluk pemula Islam di Indonesia adalah orang-orang yang
berakidah dengan akidah Sufi atau setidaknya mengenal Islam lewat
kacamata tasawwuf.
Bangsa Arab
Hadramaut telah lama mencapai pesisir barat laut
pantai Sumatra, yang diperkirakan oleh sejarawan Islam terjadi
kisaran abad ke-7 Masehi. Mereka kemudian berbaur dengan penduduk setempat
selama dua atau tiga abad sebelum agama Islam lahir, sehingga pengaruh mereka
berkesan di tengah masyarakat. Dengan masuknya Islam ke pesisir pantai
kepulauan ini, pengaruh ini semakin kuat, terutama dalam bidang kebudayaan.
Agama baru diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, dari rakyat
jelata hingga para raja.
Agama Islam yang
menjamur di Nusantara seperti kini bukanlah tanpa sebab dan perjuangan yang
berarti. Islam adalah agama yang menghargai persamaan kedudukan, hak dan
kewajiban manusia. Sehingga dalam penyebarannya, tanpa paksaan dan kekerasan,
Islam dapat mudah berkembang di Nusantara. Dengan demikian, semua
lapisan masyarakat dapat saling hidup rukun, bersaudara, bergotong royong,
saling menghargai, saling mengasihi, bersikap adil sehingga toleransi Islam
merupakan ciri utama bangsa ini yang dikenal dunia sampai sekarang ini.
Eksistensi Walisongo
sebagai bagian dari para pelopor kalimatullah di bumi Jawa tidak diragukan lagi
keberadaannya. Meski dalam analisis sejarawan Islam belum bisa mengkuak secara
pasti kapan Islam kali pertama disebarkan khazanahnya di Nusantara, namun jejak
peninggalan yang ditemukan di ranah Jawa secara Historis sudah cukup membuktikan
mulai surutnya dominasi Hindu-Budha di tengah kepercayaan dan kultural di
masyarakat. Walaupun dalam realita penyebaran Islam di Nusantara bukan
merupakan dari pangku tangan tunggal dari Walisongo semata, namun demikian kata
Walisongo hanya merupakan simbolis generalisme dari para penyebar Islam lain
oleh masyarakat awam, karena dedikasinya juga yang besar terhadap perkembangan
kerajaan Islam di Nusantara.
Walisongo yang
kesemuanya berjumlah sembilan Mubaligh (da’i), delapan diantaranya masih dalam
satu garis keturunan dengan Nabi Muhammad SAW., dan hanya satu diantara mereka
yang merupakan keturunan Jawa asli, yakni Sunan Kalijaga (Raden Sa’id). Di sisi
lain, kajian historis telah menyatakan bahwa Sunan Gresik (Maulana Malik
Ibrahim) merupakan Grand Father, itu disebabkan karana ia di
anggap sebagai wali pertama yang berdakwah di Jawa dan sebagai perintis pertama
tempat mengaji agama yakni ‘Pondok’. Dalam perjalan dakwah para Walisongo,
banyak usaha yang mereka tempuh dalam menyebarkan agama Islam sampai ke plosok
penjuru pulau Jawa, mulai dari hidup sebagai sufi dalam berbaur dengan
masyarakat, membuat pendekatan dengan budaya mereka, hingga secara diplomatis.
Jalur Politik Dan Kekuasaan
Secara politis,
penyebaran Islam juga dilakukan oleh para raja dan penguasa pada saat itu. Dengan
adanya raja-raja yang beragama Islam, ajaran Islam mulai tersebar ke
penjuru pelosok kerajaan dan berangsur-angsur mulai diikuti dan di
terima oleh rakyat dan punggawa kerajaan. Diantara salah satu wali yang
berdakwah di jalur ini adalah Sunan Ampel, yang merupakan keturunan ke-22 dari
Rosulullah SAW. ia menikah dengan Nyai Ageng Manila yang merupakan putri dari
Adipati Tuban (Arya Teja) sehingga Hubungan diplomatis terjalin dan rakyat
perlahan mulai tertarik dengan nuansa agama yang dibawa oleh menantu dari sang
Adipati.
Jalur Pendidikan
Penyebaran
Islam di Indonesia juga tak lepas dari sumbangsih dalam bidang pendidikan, baik
melalui majlis ta’lim maupun pesantren yang diselenggarakan oleh guru-guru
agama dan ulama’-ulama’. Di pesantren para santri yang merupakan bakal calon
ulama’, guru agama dan kyai mendapat mendapat pendidikan agama. Setelah keluar
dari pesantren, diharapkan mereka pulang ke kampung masing-masing atau bisa
berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang
didirikan oleh Paden Rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri.
Lulusan pesantren Giri ini juga banyak yang diundang ke Maluku untuk
mengajarkan Islam.
Jalur Kebudayaan
Kebudayaan
Merupakan jalur penyebaran Islam yang sangat efektif. Jalur ini dicontohkan
oleh salah satu Walisongo dengan menggelar pertunjukan kesenian dan kebudayaan.
Sebagaimana yang dilakukan Sunan Kalijaga, seorang wali yang paling mahir dalam
mementaskan wayang. Dalam pertunjukan yang ia gelar tersebut dia tidak pernah
meminta upah sereserpun dari hasil pertunjukannya, tetapi ia hanya
meminta mereka untuk mengikuti bacaan syahadatnya. Selain itu, ia juga menyelipkan
ajaran ajaran islam dalam cerita wayang yang ia pentaskan itu. Di sisi lain,
Sunan Kudus dalam pendekatannya dikalangan masyarakat Hindu,
beliau melarang para pengikutnya untuk menyembelih sapi (binatang
yang di sucikan kaum Hindu) dan sengaja membuat ornamen masjid beliau layaknya
serupa dengan tempat peribadahan mereka. Hingga akhirnya satu persatu mereka
tertarik dan kemudian bersyahadat di depan Sunan Kudus dengan kerelaannya.
Usaha
Walisongo yang begitu gigih nan cerdik dalam bembaur dengan masyarakat untuk
mengupayakan Islamnya Nusantara dan Jawa khususnya menuai hasil yang cemerlang.
Kini realita tak dapat dibantah lagi bahwa mayoritas masyarakat sekarang telah
bersyahadat atas jasa para mubaligh yang tak lepas dari Walisongo utamanya, dan
KH. Hasyim Asyari, Hamzah Fansuri dan lainnya yang dulu merupakann motor utama
dalam penggerak syiar Islam. Kini masyarakat yang menuai prosentase terbesar
adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah dan itupun juga mayoritas bermadzhab Syafi’i.
Suatu
yang mustahil jika Walisongo dan para Mubaligh lain semasanya tidak menganut
faham Ahlussunnah wal Jama’ah, sementara realita masyarakat Islam di lapangan
sekarang merupakan penganut setia Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya penduduk
Jawa. Padahal, dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa sendiri merupakan bidikan
utama oleh para Walisongo. Maka tak dapat dipungkiri jika Walisongo itu sendiri
berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah, kecuali jika dalam sejarah Islam sendiri
mencatat bahwa adaanya peralihan faham yang ada sebelum Ahlussunnah wal Jama’ah
menjamur di kalangan umat Islam Jawa. Selanjutnya, Prof. KH. Abdullah bin Nuh
juga menjelaskan “ Jika kita mempelajari Primbon, yakni kumpulan ilmu dan
rahasia kehidupan yang di dalamnya terdapat materi ajaran Ibrahim (Sunan
Bonang), maka di sana kita alkan mendapatkan banyak nama dan kitab yang menjadi
referensi utama para dai sembilan, berupa pendapat dan keyakinan, sebagaimana
juga memuat masalah akidah dan fikih dengan susunan yang bagus sesuai dengan
akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah dan Madzhab Imam Syafi’i. dari sini,menjadi
jelas jika para da’i yang terkenal dalam sejarah masyarakat Jawa dengan gelar
Walisongo itu termasuk tokoh utama dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah wal
Jama’ah”.
Di sisi lain,
masjid-masjid besar yang dibangun oleh Walisongo juga turut menjadi bukti akan
faham yang telah di anut mereka kala itu, misalnya Masjid AL Aqsho (Sunan
Kudus), Masjid Sunan Ampel (Surabaya), Masjid Agung Demak (Sunan Kalijaga) dan
lainnya. Pada realitnya, tak mungkin jika suatu Masjid yang berada pada
lingkungan Walisongo tersebut, masyarakat dan orang Islam yang telah
turun-temurun bermukim di sekitar Masjid tersebut melenceng dari faham yang
dianutnya, padahal dalam praktek ibadah keseharian di Masjid tersebut memang
merupakan amaliyah faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
Islam ala Ahlussunnah
wal Jama’ah yang yang dibawa oleh Walisongo tetap kukuh dan dipegang teguh Umat
Islam di Nusantara. Dalam wadah organisasi sosial keagamaan NU (Nahdhotul
Ulama’) lah Islam di Indonesia ini tetap bersatu dalam menjalin komunikasi
untuk memperkukuh Ukhuwah Islamiyyah dan mensyi’arkan Islam ke penjuru plosok
negeri, dan turut serta mengirimkan Da'i ke negara tetangga yang belum terjamah
oleh kesejukan Agama Islam, untuk mewujudkan Indonesia sebagai mercusuar dunia.
sumber :
https://bintangbinfa.wordpress.com/2013/12/13/sejarah-awal-agama-islam-masuk-ke-tanah-jawa/
http://www.metazone.co.vu/2014/08/walisongo-penerus-dakwah-nabi.html
Komentar
Posting Komentar